Taaruf yang mendebarkan

Pada kesempatan ini saya ingin mengenang dan mengabadikan saat-saat saya mulai proses taaruf (berkenalan) dengan calon istri saya di pertengahan tahun 2005 lalu. Saya dikenalkan ke calon istri oleh kakak kost-nya yang sama-sama ngajar di TPQ Hidayatullah Ngasinan Surakarta. Mbak Ervina namanya. Lumayan akrab dengan karena Mbak Ervina sering mampir ke kostku yang hampir semua isinya adalah teman-teman Mbak Ervina kuliah di Jurusan Kriya STSI. Setelah luluspun, pas mampir solo dan masih sering ketemu Mbak Ervina yang waktu itu melanjutkan kuliah ke S2.
Entah karena akrab atau apa, sehingga Mbak Ervina menawarkan teman kostnya yang satu ini. Sebenarnya saya masih trauma dengan proses-proses taaruf saya sebelumnya yang tidak berlanjut, tapi.. “Yaa.. atur sajalah, Mbak!” jawabku dengan nada hidup segan mati tak mau. Kalo memang jodoh toh juga tak akan kemana, makanya saya mengalir saja tanpa ada skenario jalan ceritanya. Sampai pada akhirnya memasuki tahap pra taaruf yang mengharuskan saya konsultasi intensif dengan guru ngajinya di Bekasi. Dalam fase ini saya harus puas dengan hanya mengenalnya melalui lembaran-lembaran kertas biodatanya tanpa foto, karena si calon tidak mau ngasih foto ke guru ngajinya apalagi untuk ketemu fisik dengan saya.
Belum habis heran saya atas sikap anehnya, persisnya 2 hari setelah mempelajari biodatanya, dan bolanya adalah saya harus menge-fax biodata saya ke guru ngajinya, “Antum simpen dulu saja, Akhi! Akhwatnya belum bener-bener siap untuk proses taaruf ini.” Bahasa yang halus untuk menolak dan memberhentikan proses taaruf ini, disampaikan melalui suami guru ngajinya. “Tapi, kalau antum mau, saya ada akhwat-akhwat yang lain, ada beberapa guru di sekolah saya yang kebetulan juga belum nikah, bagaimana?” sambung beliau diseberang di ruang guru sebuah SDIT.

Eee.., hari minggu sekitar jam 9.00 pagi, ada nomor asing masuk di HP saya yang ternyata itu akhwat yang saya minta dari guru ngajinya beberapa waktu lalu. “Kalau masih berminat melanjutkan prosesnya, datang saja ke rumah dan bilang ke Ibu saya, tapi kalo sudah tidak berkeinginan untuk dilanjutkan ya ngga apa-apa, bgmn?” Terus terang saya gelagepan waktu itu, mirip seperti Bapakku mengguyurkan seember air kalo saya nakal waktu masih kecil. “Saya dikasih waktu untuk memberikan jawaban, kan?” elakku berdiplomasi. Seminggu saya bimbang mau memberikan jawaban apa kepadanya. Tepat hari minggu juga dia menelponku, 6″Bagaimana?”. “Yo wis, saya akan silaturrahim ke Ibu. Kapan beliau ada waktu?” Akhirnya ditentukan Hari Ahad, 5 Ramadhan 1426H ba’da Ashar saya silaturahim ke Ibunya di salah satu komplek perumahan di Bekasi. Sekalian ketemu sama calon istri saya yang konon cantik sekali. 🙂

Jreng..Jreng..Jreng.. Bertandanglah saya ke rumahnya.
Ketika saya bertamu ke rumahnya, saya ketemu dengan Ibu dan kakak-kakaknya dan, curraaaaaaaaaaaaaaaaaaaang…! Si akhwat mengambil posisi jauh disamping saya tapi menghadap ke saya. Huaaa….huhuaaa…, dia sangat leluasa mengamati semua gerak-gerik saya tapi saya cuma bisa mendengar suaranya karena bagaimanapun juga saya harus menghadap ke arah Ibunya yang persis di depan saya, nggak mungkin donk saya jelalatan. Huff.. gagal maning, son!.

Written by arifunasiin