Ketika mendengar temen saya sesama anggota SKI FT UNS akan melangsungkan pernikahan, saya ikut senang dan ada rasa bangga kepada temen2 yang sudah berani mengambil keputusan besar itu. Dan aura kebahagian itu pasti langsung terpancar juga kepada saudara-saudara yang lain yang mendengarnya. Namun tidak demikian kali ini, ada rasa kegalauan kegundahan yang selalu muncul dan tidak bisa saya sembunyikan atas tersiarnya masing-masing kabar rencana pernikahan tiga orang teman akrab saya, teman saya yang pertama menikah selisih tiga bulan setelah saya menikah sekitar bulan Mei 2006, dan teman saya yang kedua menikah awal Agustus 2007, dan teman saya yang ketiga menikah bulan Januari 2008, ketiga teman saya ini ketiganya pernah menjabat Kepengurusan di SKI kala itu dan lagi ketiganya pula pernah satu kost dengan saya di Wisma Salman.
Penyebab kegalauan saya adalah, karena prosesi pernikahan beliau bertiga ada sedikit kesamaan dengan prosesi pernikahan saya, dan saya yakin itu hanya faktor kebetulan saja tanpa ada maksud menduplikasi atau bahkan meneruskan apa yang telah saya lakukan. Kesamaannya adalah kami berempat telah meminang akhwat sesama aktifis di SKI FT dan akhirnya menikah dengannya. Walaupun demikian sederhananya, tapi tetap saja menggelitik pikiran saya dan selalu menjadi bahan diskusi tanpa kesimpulan antara saya dengan istri, karena hal ini masalah yang cukup sensitif.
Sensitif, karena ini menyangkut hati masing-masing teman saya yang menjalaninya dan teman-teman saya yang lain yang melihat dan yang mencermatinya, karena kami tidak bisa menyalahkan mereka semua ketika mereka menyimpulkan dari apa yang tampak dari kami semuanya, yaitu kami berempat satu kost, mantan aktifis SKI dan nikah sesama mantan aktifis SKI. Dan kekhawatiran saya, apa yang kami lakukan akan di jadikan hujjah yang tidak sehat dan tidak pada tempatnya oleh teman-temanku yang di SKI maupun para alumninya. Itu hanya kekhawatiran saya yang tidak berujung pangkal, tapi saya sangat ber-khusnudzan kepada antum wa antunna tidak akan mempunyai pikiran sedangkal itu dalam menganalisisnya. Saya tsiqoh bahwa antum wa atunna adalah pribadi-pribadi yang tulus ikhlas LiiLLahi Ta’ala dalam mengemban amanah da’wah ini dan tanpa ada embel-embelnya secuilpun.
Istri pernah melontarkan protesnya ke saya ketika semasa ta’aruf dulu gara-gara saya meng-khitbah-nya dan notabene dulunya sesama aktifis di SKI FT, dikhawatirkan akan menjadi polemik di dunia perpolitikan ikhwah teknik. Memang waktu itu saya sempat juga ditolak sang ukhti lewat murobbiyahnya ketika masih belum sampai tahap ketemu fisik, ini karena hal tersebut atau bukan saya tidak tahu persis, dan kemudian murrobiyahnya jugalah yang menawarkan untuk prosesnya dicoba dilanjutkan. Yang membuat saya yakin untuk terus maju adalah saya masih berada di jalur kaidah-kaidah adab yang syar’i, diantaranya kami tidak ada hubungan khusus sebelumnya karena dunia kami berbeda, tidak pernah ada maksud untuk saling mengikat janji karena kami tidak pernah berkomunikasi, karena saya lebih banyak aktif di TPQ Hidayatullah sedangkan istri dulunya aktif di UKMI. Awal mula ta’aruf saya melalui kakak kost-nya yang Ustadzah TPQ juga dan kuliah di STSI, itupun saya cuma diberi nomor telpon murrobiyyah di Bekasi. Sehingga saya yakin tidak ada yang tidak sehat ataupun yang salah pada prosesi saya tersebut.
Demikian juga hal serupa, saya pikir akan sama proses-proses yang dijalani oleh ketiga teman kost saya, semuanya LiiLLahi Ta’ala InsyaAllah. Dan disini rasanya perlu saya sampaikan pula salam ta’dhim penuh hormat saya kepada beliau yang senasib sepenanggungan dengan saya, yaitu :
1. Akhi Ma’ruf Pujinto (Sip’92) dan Ukhti Rr. Penny (Sip’95)
2. Akhi Dwi Setiawan (Kim’98) dan Ukhti Nida (Kim’00)
3. Akhi Subhantoro (Mes’98) dan Ukhti Tita Tresnawati (Sip’00)
4. Akhi Wahyu Hadiyanto (Ars’02) dan Ukhti Zumrotun (Ars’02)
Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barokatuhu
dari kami,
Arifunasiin (Sip’97) dan Nur Baeti Mustikasari (Ind’98).
Semoga kegalauan ini menjadikan bahan perenungan tersendiri bagi teman-teman yang akan mengambil suatu keputusan besar, dan apapun keputusan yang antum wa atunna ambil haruslah tetap menjadikan Allah sebagai Orientasi Utamanya.
Akhukum fillah.
Gunung Putri, 9 Jumadil Ula 1429 H